Kata orang bijak, politisi menyampaikan kebenaran untuk menutupi kebohongan, sementara penulis menyampaikan “kebohongan” untuk membuka kebenaran. Arafat Nur, satu diantara sedikit penulis Aceh yang berkualitas mungkin telah sampai pada tahap mengkabarkan kebenaran tersebut, tentang suatu tempat pada suatu waktu. Penulis Aceh ini sudah sejak lama mengembara dalam dunia kepenulisan. Di Aceh, namanya kian melejit sejak novel Lampuki yang ditulisnya beberapa tahun lalu memenangkan sejumlah penghargaan di tingkat Nasional.
Arafat Nur lahir di Lubuk Pakam, Sumatera Utara pada tanggal 22 Desember 1974. Arafat berdarah Aceh dan menempuh pendidikan di Aceh. Mulai serius mendalami bidang sastra terutama puisi dan cerita pendek sekitar tahun 1997. Tapi sebelumnya sudah mulai menulis berupa puisi dan cerpen anak-anak. Menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar di Peureulak dan SLTP di Idi Rayeuk. Kelas tiga SLTP pindah ke Meureudu dan menamatkan SMA di Meureudu. Pernah jadi tenaga pengajar di Dayah Babussala, sampai tahun 1999. Menjadi pegawai honorer SMU Meureudu, Aceh Pidie, dari tahun 1994 sampai tahun 1999. Lalu pindah ke Lhokseumawe dan bekerja sebagai jurnalis. Dia dipercaya sebagai Ketua Devisi Sastra pada Yayasan Ranub Aceh (KRA).
Arafat banyak menulis puisi, cerpen dan artikel di berbagai media massa. la pernah mengikuti pertemuan Sastrawan se-Sumatera yang di selenggarakan DKA/Lempa di Banda Aceh (1999). Pernah mendapatkan hadiah terbaik lomba penulisan cerpen Taman Budaya Aceh (1999), Harapan I Lomba Cerpen Telkom Online 2005 dalam rangka menyambut hari Kartini, juara III Nasional lomba penulisan novel Forum Lingkar Pena (2005). Puisinya ikut dalam antologi "Keranda-keranda" (DKB,2000), "Aceh dalam puisi" (Assy-syaamil,2003), "Mahaduka Aceh" (PDSHB.Jassin,2005), sedang cerpennya dimuat dalam antologi cerpen "Remuk" (DKB,2000). Novelnya yang telah terbit adalah "Meutia Lon Sayang" (Mizan,2005), "Cinta Mahasunyi" (Mizan,2005) dan "Percikan Darah di Bunga" (Zikrul Hakim,2005).
Pada tahun 2010, novel “Lampuki” secara mengejutkan menjadi salah satu pemenang unggulan sayembara menulis novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Ajang sayembara tersebut merupakan salah satu ajang bergengsi di Indonesia yang digelar setiap tahun. Terlebih lagi, yang mengikuti sayembara novel DKJ selama ini punya nama besar di ranah sastra Indonesia. Menurut Arafat, lampuki memang ditulis dengan persiapan yang matang, dan butuh intensitas yang tinggi untuk tetap menjaga setiap kata dan kalimat dalam novel itu. Hasilnya, novel itu menjadi salah satu unggulan pemenang. “Ini novel tersulit yang pernah saya kerjakan. Sulit dalam arti kata mencari tema dan menjaga setiap karakter tokoh utamanya agar tidak terkesan klise,” demikian kata Arafat. “Saya belajar menulis secara otodidak. Pengalaman hidup banyak mengajari saya dalam menulis, Banyak penulis-penulis besar dunia tidak lahir dengan serta merta. Mereka juga banyak berjuang dan mengisi hidup ini dengan kesulitan dan tantangan. Yang penting jalani saja hidup ini apa adanya,” lanjut Arafat.
Desember 2013 yang lalu, Arafat Nur kembali melahirkan sebuah novel yang berjudul “Burung Terbang di Kelam Malam”. Berbeda dengan Lampuki yang dinilai berat, karena mengangkat isu sosial dan politik pada masa konflik di Aceh, novelnya kali ini dinilai lebih ringan namun masih tetap menghibur dan berlatar Aceh.
Novel yang sarat kandungan sosial-politik ini sesungguhnya tidak akan membuat pusing kepala sebagaimana novel serius pada umumnya. Kesederhanaan bahasa yang terjaga dan rapi, menjadikannya mudah dimengerti. “Saya sengaja menulis dengan jiwa remaja, sarat pesan kemanusiaan sehingga tidak jatuh menjadi novel murahan,” kata Arafat.
Penyair, penulis prosa dan esai, Sitok Srengenge mengatakan, ini adalah sebuah novel yang mengungkap realitas sosial-politik suatu masyarakat dari kurun yang rawan, menandakan bahwa pandangan penulis telah menjelma menjadi sebuah sikap nyata, semacam upaya aktif untuk penyelamatan kenangan yang terancam punah oleh sejarah-rekayasa naratif kaum penguasa yang hendak memonopoli kebenaran. Arafat Nur, melalui novel ini telah menciptakan tanah air baru bagi kebenaran di luar sejarah yang terancam mati, memberi mereka kemerdekaan untuk bangkit berkali-kali, lanjut Sitok. Perpaduan antara politik dan cinta yang sangat terjaga, terkomposisi dengan indahnya, sehingga pembaca dapat menikmati seperti memamah makanan kesukaannya.
Selain itu, alur ceritanya runut dengan bahasa yang renyah, berusaha mengungkapkan kebusukan dan kemunafikan manusia-manusia yang berkedok dogma-dogma agama. Meski novel ini berlatar situasi Aceh pasca perang, namun kisahnya bisa menjadi cerminan bagi persoalan-persoalan kemanusiaan, agama, sosial, dan politik yang banyak ditemui di negeri ini.
Demikianlah Arafat Nur, salah satu penulis Aceh yang terus mengguratkan penanya dalam lintasan waktu di Negeri Serambi Mekkah dan akan meninggalkan rekaman tentang realitas peristiwa, pada orang-orang yang datang kemudian.
Sumber: Dari berbagai sumber
0 komentar:
Posting Komentar