Apa yang kita harapkan dari seorang calon presiden untuk negeri yang selalu mendung ini? Mungkin jawaban Ruhut Sitompul akan berbeda dengan jawaban anda. Atau mungkin keinginan para buruh tidak serumit keinginan kalangan konglomerat. Tapi yang jelas seorang presiden dipilih karena membawa harapan yang lebih baik.
Saat tahapan pemilihan presiden dengan dua pasangan calon, Prabowo-Hatta di satu sudut, Jokowi-Jk di sudut yang lain, sedang bergulir di Indonesia. Kedua kubu telah menabuh genderang perang. Amunisi telah ditembakkan. Pertempuran terjadi di semua medan, baik dunia nyata maupun dunia maya. Hiruk pikuk ini akan mencapai titik resistensinya pada bulan Juni 2014. Para calon presiden ibarat buku pintar, tempat terjawabnya segala permasalahan negeri ini, walau untuk saat ini masih pada tataran retorika. Sejauh mana hal itu akan terwujud dalam tataran implementasi, berlaku teori kemungkinan disana. Dari tiga putaran debat kandidat presiden yang berlangsung, banyak para pakar menganalisa proses itu. Identifikasi pun terbentuk. Paparan Jokowi cenderung teknikal yang berorientasi mikro. Ini pilihan yang tidak biasa. Sementara Prabowo lebih mengikuti pakem kampanye, berpikir konseptual yang mengarah kepada makro. Mungkin konseptual dampaknya lebih aman, karena tidak dengan serta merta dapat disanggah, karena variabel pengujinya tergantung persepsi dan bersifat makro.
Untuk kali ini mari kita bicara konseptual. Apa itu konsep? Mana yang lebih ideal untuk seorang calon presiden dalam berkampanye, bicara konsep atau bicara teknik? Menurut asal katanya, istilah konsep berasal dari bahasa latin, conceptum, yang artinya sesuatu yang dipahami. Aristoteles dalam “The cassical theory of concepts” menyatakan bahwa konsep merupakan penyusun utama dalam pembentukan pengetahuan ilmiah dan filsafat pemikiran manusia. Konsep merupakan abstraksi suatu ide atau gambaran mental, yang dinyatakan dalam suatu kata atau simbol. Dalam arti yang lebih luas, para ahli berpendapat, konsep merupakan representasi intelektual yang bersifat abstrak dari ide, gagasan dan situasi yang ada. Jadi dapat diartikan merupakan sinopsis makro dari cara mengatasi masalah yang ada secara umum.
Kita tentunya bakal setuju jika ada orang dengan sikap patriotis mau berpikir keras untuk menyelamatkan negeri tercinta ini dari jebakan lingkaran setan kemiskinan yang tak berujung pangkal. Atau serangan wabah gaya hidup bangsa yang sofistikasi dan budaya hedonis yang carut marut. Tapi kita juga tidak mau jawabanya hanya ada pada adogium konsepsional yang terbingkai di dinding ruang kerja presiden.
Dalam acara sarasehan kebangsaan bertema “Bung Karno dan pemikiran sosio demokrasi” di Jakarta beberapa waktu lalu, Prabowo menilai, Indonesia mengarah ke negara gagal, karena berbagai visi dan gagasan Bung Karno hanya dijadikan jargon serta simbolisme semata. Neo kolonialisme yang pernah diramalkan Bung Karno terjadi pada saat ini dan Indonesia masih terjajah. Kekayaan bangsa ini bocor ke luar negeri mencapai 25 miliar US dollar setiap tahunnya. Jika benar hal demikian terjadi, dari perspektif ekonomi, apa yang disampaikan Bung Karno di Bandung pada tahun 1930 silam ternyata relevan untuk kondisi saat ini. Jika benar sebegitu angkanya, itu merupakan jumlah yaang fantastis sekaligus sadis.
Menilik paparan tersebut, konseptual bukanlah hal yang baru di seputaran para calon dan para presiden Indonesia. Yang jadi persoalan, sejauh mana konsep yang berkonotasi ideal itu dapat di terjemahkan secara teknikal. Karena sampai hari ini banyak persoalan bangsa yang terlantar tanpa jawab. Satu contoh, tidak ada satu orang calon presiden pun yang tidak “mengamini” konsep ekonomi kerakyatan, mulai dari tahun pertama negara ini berdiri. Tapi realita yang terjadi saat ini, Indonesia sudah berada di mulut liberalisme, pasar bebas sudah sampai ke depan pintu rumah kita.
Contoh lain, lewat salah satu wawancara di media massa, Prabowo pernah menyatakan, merdeka sama dengan petani sejahtera. Itu konsep! Artinya mungkin bila petani kita sejahtera atau jika 5% saja dari luas wilayah Indonesia ini ditambahkan jadi lahan pertanian yang mandiri, itu baru kemerdekaan yang hakiki. Jadi bukan cerita tentang gedung-gedung pencakar langit atau jalan tol berbayar. Esensinya adalah sampai sejauh mana pemerintah di jamannya mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat secara signifikan.
Tapi bagaimana caranya? Pertanyaan singkat yang jawabannya bikin pusing para pakar. Tantowi Yahya pernah berucap, masalah teknis itu urusan kabinet, urusan para menteri. Tapi kita semua tahu sangatlah sulit menafsirkan gagasan yang berada pada 10 kilometer dari permukaan bumi. Gus Dur punya keyakinan, bahwa orang yang paling tulus dalam memperjuangkan kepentingan bangsa ini adalah Prabowo. Tapi orang tulus juga bisa kalah. Orang baik juga bisa kebingungan dalam mengatasi banyaknya persoalan. Apa yang menjadi pemikiran Prabowo, tentu tidak akan memberi hasil yang optimal, sekiranya gagasan itu tidak mampu diaplikasikan dalam kehidupan nyata di lapangan, di kaki para petani buruh.
Pada akhirnya hal itu hanya akan tinggal menjadi menjadi slogan di papan reklame yang terlupakan. Kita menjadi tidak begitu yakin dengan jawaban Tantowi. Seperti kita juga tidak yakin dengan banyaknya konsep untuk membayar utang luar negeri, tapi kenyataannya utang-utang itu sampai kini tidak pernah terlunasi, malah membengkak. Tapi satu hal yang mungkin kita sepakat, tidak ada satu orang menteri pun yang tidak bisa tidur, hanya karena memikirkan utang luar negeri Indonesia.
Soe Hok Gie pernah berpendapat, “Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan-slogan. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal obyeknya. Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat."
Konsep bisa dinyatakan dengan “hund” dalam bahasa Jerman, atau bermakna “chien” dalam bahasa Prancis, atau “perro” dalam bahasa Spanyol. Atau bisa tidak berarti apa-apa dalam bahasa Indonesia.
Apakah mereka sedang membual? Apakah harusnya ada tanggung jawab moral terhadap penebar harapan dalam format konseptual? Ataukah jawabannya, calon presiden juga manusia. Bisa benar, bisa salah. Cukuplah bila disana ada harapan, karena tidak ada yang sempurna. Apa pendapat anda?
0 komentar:
Posting Komentar