Sahdan, pada saat Konstituante terbentuk sistem pemerintah pada saat itu adalah dengan menggunakan sistem parlementer, dan seperti maklumat pemerintah pada saat itu, bahwa timbul banyak partai yang ikut dalam pemilu. Rakyat diberi kebebasan untuk menciptakan partai yang akan mewakili aspirasinya di badan perwakilan (DPR) atau di Konstituante. Oleh karena itu Konstituante yang terbentuk merupakan wakil-wakil dari partai yang berjumlah 514 orang dan 20 anggota tambahan. Konstituante yang terbentuk ini tidak berhasil membuat Undang Undang Dasar yang baru yang permanen, hal itu karena wakil-wakil rakyat pada saat itu mengalami perdebatan jalan buntu, yaitu untuk masalah-masalah yang krusial yaitu Dasar Negara yang akan digunakan dalam Undang-Undang Dasar. Walaupun sebenarnya permasalahan lain dalam perdebatan menemukan pemecahannya sebagai unsur dalam suatu undang-undang dasar, tetapi kondisi yang tidak memungkinkan terbentuknya suatu undang undang dasar yang baru, maka seakan akan hasil jerih payah dari Konstituante selama lebih kurang 3 tahun menjadi tidak ada artinya,dan perubahan undang–undang dasar yang diharapkan tidak tercapai.
Konstituante sebagai badan yang terbentuk untuk mengubah UUD 1945 bisa dikatakan sebagai bagian dari proses reformasi Konstitusi (Constitusional Reform) yang dilakukan pada saat itu, dimana peristiwa tersebut didasari oleh keinginan bersama bangsa Indonesia sebagai negara yang baru merdeka, untuk dapat membentuk UUD dengan penuh kesadaran sebagai suatu aspirasi dari seluruh rakyat Indonesia. Oleh karena itu bisa dikatakan pada kurun waktu tahun 1956 -1959 merupakan proses reformasi konstitusi yang dilakukan oleh Konstituante.
Kondisi seperti itu bisa kita bandingkan dengan munculnya orde Reformasi di tahun 1998. Dimana diawali dengan jatuhnya kondisi perekonomian Indonesia pada saat itu, yang diikuti dengan peristiwa sosial politik hingga jatuhnya Pemerintahan Suharto, maka pada saat itu juga timbul keinginan yang besar untuk melakukan reformasi konstitusi dengan perubahan/amandemen Undang-Undang Dasar 1945. Hal-hal yang mendasari timbulnya keinginan perubahan UUD 1945 adalah yang bisa disejajarkan dengan proses pembentukan UUD yang dilakukan oleh Konstituante antara lain :
Alasan Historis
UUD 1945 adalah Undang Undang Dasar yang sifatnya sementara, oleh karena itu perlu dibuat Undang-Undang Dasar yang lebih lengkap dan sempurna.
Alasan Filosofis
Dalam UUD 1945 terdapat pencampuradukan beberapa gagasan yang saling bertentangan, antara faham kedaulatan rakyat dan faham integralistik, antara negara hukum dan negara kekuasaan.
Alasan Teoritis
Secara konstitusional bahwa UUD seharusnya membatasi kekuasaan negara agar tidak sewenang-wenang, tetapi hal itu dalam UUD 1945 hal tersebut tidak jelas atau kurang menonjol.
Alasan Yuridis
Bahwa untuk perubahan UUD telah tercantum ketentuannya dalam pasal 37 UUD 1945.
Alasan Politik Praktis
Banyaknya penyimpangan yang dilakukan pada kurun waktu 1959 -1998 akibat multi intepretasi yang sesuai dengan penguasa pada saat itu.
Alasan-alasan tersebut diatas yang dapat menjadi dasar mengapa perlunya perubahan ataupun amandamen atas UUD 1945 dilakukan, selain dengan adanya euforia dari reformasi yang terjadi pada saat itu yang secara popular dituntut pada saat itu oleh para mahasiswa adalah : Adili Soeharto, Hapuskan Dwi Fungsi ABRI dan Amandemen UUD 1945.
Dalam bukunya Modern Constitutions, KC. Wheare menyatakan bahwa suatu perubahan konstitusi dapat dilakukan dengan melakukan Amandemen Formal, yang di dalam proses amandemen itu harus didasari dengan beberapa pandangan antara lain untuk :
Konstitusi diubah dengan karena alasan yang matang, bukan sederhana atau serampangan.
Rakyat diberi kesempatan mengungkapkan pandangannya sebelum dilakukan perubahan.
Dalam sistem federal, kekuasaan unit pemerintah pusat tidak bisa diubah oleh satu pihak.
Hak individu atau masyarakat, misal hak minoritas dalam bahasa, agama atau kebudayaan harus dilindungi.
Rakyat diberi kesempatan mengungkapkan pandangannya sebelum dilakukan perubahan.
Dalam sistem federal, kekuasaan unit pemerintah pusat tidak bisa diubah oleh satu pihak.
Hak individu atau masyarakat, misal hak minoritas dalam bahasa, agama atau kebudayaan harus dilindungi.
Proses Amandemen yang telah dilakukan terhadap UUD 1945 adalah sebagai proses politik dan kenegaraan yang awalnya terjadi dengan proses reformasi yang berhasil menjatuhkan pemerintahan Soeharto, yang kemudian disusul dengan terbuka kondisi politik dengan terbentuknya banyak partai yang mengikuti Pemilu 1999, dimana para wakil rakyat yang terpilih pada pemilu tersebut yang duduk menjadi anggota DPR dan sekaligus anggota MPR ditambah dengan Utusan Golongan dan TNI/Polri yang melakukan amandemen UU 1945 dalam sidang-sidangnya.
Pemilu 1999 merupakan pemilu yang demokratis sejak masa Orede Baru, dimana sistem pemerintahan pada saat itu adalah Presidensil yang membedakan dengan kondisi pada saat Konstituante terbentuk, hal ini karena pemilu 1999 diikuti oleh 48 partai politik sebagai kontestannya. Partai-partai tersebut lahir sebagai pencerminan dari aspirasi yang ada dalam masyarakat, yang ternyata mempunyai keinginan politik yang bermacam. Hal ini bisa dikatakan sebagai aspirasi politik yang tiba-tiba terbuka lebar, setelah sebelumnya di jaman Orde Baru, keinginan itu ditutup rapat-rapat oleh Pemerintah. Pemilu pada tahun 1999 ini menghasilkan 9 fraksi dalam MPR yang ditambah dengan Fraksi Utusan Golongan dan Fraksi TNI/Polri melakukan proses amandemen UUD 1945 sampai dengan amandemen IV sebagai hasil akhirnya. Walaupun hasil sampai amandemen IV tersebut masih menyisakan beberapa PR yang mungkin akan dapat diselesaikan dengan suatu amandemen lagi.
Proses Amandemen UUD 1945 bila dihubungkan dengan pendapat KC Wheare mengenai pembentukan suatu UUD / Konstistusi tersebut diatas dapat kita lihat bahwa Amandemen yang telah dilakukan terlihat
Tergesa-gesa dan parsial yang masih sarat dengan kepentingan politik dan bukan dengan pemikiran yang matang dan alasan yang bisa dijelaskan kepada rakyat. Sehingga hasil amandemennya menjadi tidak sinkron satu pasal dengan pasal lainnya.
Kurang dilibatkannya rakyat dalam proses amandemen tersebut, walaupun dalam proses amandemen ini MPR juga telah melibatkan Tim Ahli dari para akademisi, namun masih tampak besarnya kekuatan politik sangat berpengaruh dalam proses amandemen tersebut, sehingga aspirasi rakyat yang seharusnya bisa tersuarakan dalam pembuatan amandemen tersebut, menjadi kalah dengan aspirasi politik dari partai-partai, yang belum tentu sama aspirasinya dengan aspirasi rakyat tersebut.
Walaupun masih banyak kekurangan dalam melaksanakan tugasnya, apa yang dilakukan oleh MPR periode 1999-2002 dalam melakukan amandemen telah membuat desakralisasi UUD 1945. Sehingga UUD 1945 sejak pertama kali digunakan oleh Negara Indonesia, dan proses perubahan dan pergantian UUD yang digunakan, pada saat inilah baru berhasil melakukan perubahan UUD 1945 melalui amandemen. Sedangkan Konstituante yang terbentuk pada tahun 1956-1959 tidak memberikan hasil perubahan dalam pembuatan UUD yang baru maupun amandemen UUD.
Konstituante sebagai badan pembentuk Undang Undang Dasar, walaupun tidak berhasil melakukan tugasnya yaitu membentuk Undang-Undang Dasar, telah berhasil memberikan sumbangan yang besar dalam membuat keputusan-keputusan dengan cita-cita pembentukan negara konstitusional, yaitu dengan penegasan mengenai komitmen terhadap demokrasi, penegasan terhadap HAM, dan juga pengakuan atas masalah kekuasaan yaitu untuk melakukan kontrol terhadap kekuasaan pemerintah guna mencegah kemungkinan penyalahgunaannya. Konstituante telah meletakkan dasar-dasar dalam pembentukan suatu konstitusi, yaitu merupakan prinsip-prinsip demokrasi yang mencerminkan aspirasi dari rakyat.
Dalam konteks Amandemen UUD 1945 (Constitutional Reform) yang dilakukan oleh MPR pada periode 1999 – 2002, bisa dikatakan bahwa proses amandemen ini bisa disamakan dengan proses yang dilakukan oleh Konstituante, karena sebenarnya UUD 1945 hasil amandemen sangat jauh berbeda dengan UUD 1945 sebelum amandemen, sehingga bisa dikatakan bahwa proses amandemen ini juga telah melakukan perubahan terhadap UUD 1945.Walaupun hasil dari kedua institusi tersebut berbeda, dimana Konstituante gagal membentuk UUD yang baru sedangkan sedangkan MPR pada saat itu berhasil melakukan amandemen sampai Ke-4, yang bisa dikatakan bahwa UUD amandemen sudah sangat berbeda dengan UUD 1945 sebelum amandemen.
Dalam Proses penyusunan UUD terjadi perdebatan yang tajam diantara anggota Konstituante, hal ini pun terjadi juga dalam sidang-sidang di MPR untuk proses amandemen UUD 1945. Didalam Konstituante perdebatan itu pada akhirnya menemui jalan buntu, terutama perdebatan tentang dasar negara, sedangkan pada MPR walaupun pada awalnya diragukan apakah bisa melakukan amandemen, tetapi pada akhirnya walaupun dengan hasil amandemen yang masih banyak kekurangannya, proses amandemen dapat dilaksanakan.
Dalam melaksanakan suatu perubahan atau penggantian UUD diperlukan badan tersendiri atau suatu Komite yang lepas dari kepentingan politik sesaat dari partai-partai yang ada, badan ini diharapkan dapat menyusun perubahan atau pun penggantian UUD secara lebih integral dalam materi-materi yang termuat dalam UUD yang dalam rumusan hasilnya harus disetujui oleh rakyat secara mufakat. Jadi walaupun ketentuan tentang perubahan (perubahan pasal-pasal) UUD 1945 telah tertuang dalam UUD Negara Republik Indonesia 1945 amandemen IV, tetapi dalam pembuatan dan pembahasannya tidak hanya dilakukan oleh PAH BP MPR, yaitu sedapat mungkin bahan-bahan tersebut telah dipersiapkan oleh suatu badan atau Komisi yang bertugas untuk melakukan penyusunan tentang amandemen UUD yang anggotanya merupakan cermin wakil rakyat dan juga kalangan akademis. Sebenarnya badan atau komisi semacam ini juga telah ada dalam penyusunan amandemen UUD 1945 yang lalu, tetapi karena faktor politik maka hasil kerja dari badan atau komisi tidak sepenuhnya menjadi acuan bagi PAH di Badan Pekerja MPR dalam menyusun amandemen UUD 1945.
Badan atau komisi ini diharapkan dapat meneruskan peranan Konstituante yang lalu yang belum berhasil untuk melakukan perubahan UUD 1945. Hal ini perlu dilakukan karena hasil amandemen IV UUD 1945 masih banyak kekurangannya dan adanya ketidaksinkronan antara pasal yang satu dengan pasal yang lain, badan atau panitia atau komisi ini harus dipersiapkan agar hasil dari amandemen UUD bisa mencerminkan aspirasi rakyat dan bukan aspirasi partai sesaat .UUD 1945 hasil amandemen juga tidak secara tegas melakukan tahapan-tahapan agenda setting,development design, dan approval, sehingga tidak ada konsep awal kemana amandemen UUD 1945 akan diarahkan. Oleh karena itu diperlukan kajian yang lebih mendalam, terutama dari para akademisi, untuk melakukan peninjauan terhadap amandemen secara lebih teliti.
Sumber: Dari berbagai sumber
0 komentar:
Posting Komentar