“Apakah itu kesenian? Untuk menjawab ini susah sekali. Kalau seorang seniman membuat suatu barang kesenian, maka sebenarnya buah kesenian tadi tidak lain dari jiwanya sendiri yang kelihatan. Kesenian adalah jiwa ketok (jiwa yang nampak). Jadi kesenian adalah jiwa. Jadi kalau seorang sungging membuat sebuah patung dari batu atau kayu, maka patung batu atau patung kayu tadi, meskipun ia menggambarkan bunga, ikan, burung, atau awan saja, sebenarnya gambar jiwa tadi. Di dalam patung ikan, patung burung, atau awan tadi kelihatan jiwa sang sungging dengan terangnya.” (Sudjojono, 2000: 92)
Dalam sebuah lukisan, walaupun objek yang direkam sama, dan sekalipun cara kerja mata mempunyai persamaan dengan cara kerja lensa kamera, tapi lukisan bukanlah objek yang memantul apa adanya. Lukisan lebih dari sekedar lukisan, memberi dampak apresiasi bagi yang menikmatinya dan itu sangat dipengaruhi oleh jiwa sang pelukis yang tercetak pada kanvas. Sudjojono menyatakan kebesaran karya seni tidak tergantung sederhana atau tidaknya materi yang diangkat sebagai subjek, tetapi dari jiwa si seniman itu sendiri. Subjek dalam karya seni diangkat dari hal-hal sederhana yang ditemui dalam kehidupan sehari-hari bisa saja sangat bermakna.
Sudjojono dan Round Kelana, adalah dua orang pelukis yang terbentang jarak dan waktu. Namun ketika saya bersama Round Kelana di Apelmud (Angkatan Pelukis Muda) Aceh dahulu, saya dapat menangkap persepsi beliau sama persis dengan dengan Sudjojono. Bagi Round Kelana ‘memindahkan’ jiwa dengan berbagai tafsiran ke ‘ruang’ kanvas lebih penting ketimbang ketenaran dan finansial.
Round Kelana, kelahiran Jeuram, Aceh Barat, tahun 1940, merupakan pelukis senior Aceh yang telah membawa nama Aceh dibidang seni lukis ke kancah nasional bahkan internasional. Beliau termasuk salah seorang pelopor seni lukis Aceh yang menghidupkan potensi para perupa Aceh masa itu. Dulu tatkala Balai Teuku Umar, tempat para seniman Aceh berkreasi, Round Kelana tidak pernah absen dari tempat itu. Dia juga aktif di Apelmud Aceh yang sejak tahun 70-an giat melakukan pameran berkala di berbagai tempat di Aceh. Dalam setiap Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) digelar, Round Kelana selalu berpartisipasi. Beliau terus berkarya dan berkarya, karena itu adalah napas dan hidup beliau. Sampai dengan pasca tsunami Aceh, telah begitu banyak lukisan yang beliau hasilkan, telah begitu banyak pameran lukisan yang beliau ikuti, baik di dalam negeri maupun di luar negeri.
Minat melukis Round Kelana sudah tumbuh sejak usia dini. Ketika masih belajar di sekolah dasar yang saat itu masih bernama Sekolah Rakyat, beliau sudah mulai melukis di atas alas apa saja, dengan menggunakan pewarna alami seperti kunyit, serta kuas yang terbuat dari daun nipah. Saat itu daun nipah digunakan kebanyakan orang sebagai pembungkus tembakau untuk rokok. Daun nipah yang diambil pun harus yang muda atau pucuknya. Ketika sudah dikupas lapisan dalamnya, lalu dijemur di terik matahari untuk beberapa waktu tertentu, sehingga kering, akan berupa gulungan daun bewarna putih atau kekuningan. Round Kelana menggunakannya sebagai pengganti kuas, karena daun nipah memiliki serat berupa bulu-bulu halus yang bisa berfungsi sebagai kuas. selain kunyit sebagai pewarna, beliau juga sudah mengenal gincu yang digunakan sebagai pengganti cat karena harganya murah dan tersedia dalam beberapa warna.
Dalam perjalanan hidupnya, ketika masih remaja, beliau juga pernah merantau. Di tahun 1958, beliau sudah meninggalkan Nagan Raya menuju Blang Kejeren, Gayo Lues yang memakan waktu tujuh hari tujuh malam naik turun gunung hanya dengan berjalan kaki dan membawa bekal seadanya. Sesampainya di Blang Kejeren, beliau sempat menjadi buruh penyadap karet sebelum akhirnya hijrah lagi ke Kutacane, Aceh Tenggara. Di sini beliau bertahan hingga enam bulan lamanya, dan lagi-lagi bekerja di perkebunan. Menurut beliau, saat melakukan perjalanan panjang itulah namanya diganti dari Harun Sabi menjadi Harun Kelana. Perjalanan kemudian berlanjut hingga ke Sibolga, Sumatera Utara. Di sana beliau berkenalan dengan seseorang bernama Halik, dan menjadi pelukis kaki lima. Berkat Halik, kemudian nama Harun diganti dengan Round, sehingga lengkapnya menjadi Round Kelana. Ketika terjadi pemberontakan PRRI Permesta di Sumatera Barat, beliaupun hijrah ke Kutaraja (Banda Aceh) hingga sekarang.
Dalam perjalanan berkeseniannya, Round Kelana tidak hanya melukis di atas kanvas, beliau juga membuat komik sejarah perjuangan Teuku Umar dan Tjut Nyak Dhien. Ide itu muncul ketika beliau membaca buku sejarah ‘Aceh Sepanjang Abad’ yang ditulis oleh Muhammad Said. Kemudian beliau membukukan komiknya dengan judul ‘Peristiwa Hok Canton’. Sedangkan buku sejarah ‘Srikandi Atjeh’ yang ditulis oleh HM. Zainuddin dibuat versi komiknya dengan judul ‘Maka Kembalilah Sang Johan Pahlawan’. Kedua buku komik tersebut menceritakan kisah sejati perjuangan Tjut Nyak Dhien dan pelurusan sejarah tentang keberpihakan Teuku Umar kepada Belanda, hingga kemudian diberi gelar Johan Pahlawan.
Bila kita berkunjung ke Museum Aceh, Museum Tsunami Aceh, Kantor Gubernur, dan Perpustakaan Aceh, kita akan melihat deretan lukisan dari sang maestro seniman lukis Aceh, Round Kelana. Beliau telah berjasa mengguratkan sejarah lebih nyata di hadapan kita dalam setiap goresan kuasnya di atas kanvas. Sebut saja beberapa lukisan beliau tentang musibah Tsunami Aceh 2004 yang kita saksikan di Museum Tsunami Aceh Banda Aceh. Hal itu memberikan rekaman pada kita tentang peristiwa dahsyat tersebut menurut sudut pandang beliau.
Sesungguhnyalah beliau sendiri juga salah seorang korban tsunami yang berhasil selamat setelah diombang-ambing gelombang dan tersangkut di atap rumah penduduk yang berjarak sekitar tiga kilometer dari kediaman beliau. Saat tersadar dari hantaman gelombang dasyat itu, beliau sudah berada di atas tumpukan sampah yang mengapung bersama air bah, sampai akhirnya beliau terdampar di atap salah satu rumah.
Mungkin kini Round Kelana tidak mampu lagi melukis, karena phisik dan penglihatan beliau tidak memungkinkan lagi untuk hal itu. Tapi apa yang beliau lakukan telah meninggalkan jejak yang terpahat jelas bagi generasi dibelakangnya, dari Aceh untuk Indonesia.
Round Kelana
Round Kelana
Erwin Selian – Dari berbagai sumber
0 komentar:
Posting Komentar