Obama! Begitu teriakan itu menggema maka orang-orang pun turun ke jalan, mengiringi Raidin Pinim, bakal calon bupati Kabupaten Aceh Tenggara -sosok yang diidentifikasikan dengan Barack Obama - menuju gelanggang pertarungan pesta demokrasi mendatang. Obama! Maka orang-orang pun angkat bicara, “Tahu apa ia tentang rakyat?, Apa yang telah diperbuat untuk daerah?, Perubahan apa yang bakal ia bawa? Paling mau cari untung! Terlalu berlebihan, petualang politik, hanya bisa retorika.” Obama! Penguasa dan pengamat politik pun gundah gulana.
Apa yang rancu dengan semua itu? Itu pemilukada, semua orang berhak sepanjang memenuhi ketentuan yang berlaku. Apa yang harus dirisaukan? Bila kita melihat kebelakang, pernah ada orang percaya bahwa perlombaan untuk kekuasaan adalah pertandingan antar program kerja. Kini bagaimana kita bisa percaya ketika yang berlangsung adalah sebuah lomba penampilan pribadi?
Orang terbawa untuk melihat sang calon dari sisi yang paling naif, termasuk tentang makanan kegemarannya, apa ia bisa bernyanyi? bagaimana ia bersendawa atau seberapa banyak ia berani mengeluarkan uang?. Orang tak ingin bicara tentang pengetahuan sang calon mengenai angka kemiskinan, tentang cara mengatasi kebocoran keuangan daerah, bagaimana mengatasi jumlah pengangguran yang terus meningkat, tumpang tindih perumahan kaum pinggiran. Orang tak hendak menyidik sejauh mana seorang calon tahu tentang kebenaran dan kebaikan. Juga sejauh mana seorang calon bisa menjaga pemikiran pendukungnya agar tetap dalam tataran rasional.
Datangnya pemimpin baru, datangnya perubahan untuk perbaikan – itu harapan. Ibarat puisi yang buruk, pemilukada dengan perubahan hanya slogan bisa terlihat seperti rombongan pemamanan yang kacau balau. Dalam ekspresinya apa yang lazim disebut keputusan rasional seakan-akan terdampar di sebuah muara yang sudah mati. Suara genderang yang hiruk pikuk, kepentingan yang terpenuhi pada akhirnya mampu menggerakkan para pemilih untuk menentukan apa yang ia suka.
Saya tidak tahu adakah itu tanda terakhir bahwa manusia memang cuma se-begitu. Ataukah itu hanya suatu mode yang melintas pada satu daerah, pada satu zaman. Atau mungkin begitulah harapan pada perubahan, selalu ada tantangan, sehingga untuk itu dunia butuh orang se-sinis Machiavelli agar kita memahami kekhawatiran Lorenzo De’medici akan dampak buruk kekuasaan bagi perubahan.
Mungkin keajaiban tidak lagi turun di bumi sepakat segenap. Tapi kita tidak harus putus asa. Manusia tidak selalu benar, tapi juga tidak selalu salah. Untuk itu jadilah arif dan tidak menghakimi, karena selalu ada harapan untuk menjadi lebih baik, begitu kata Sergie Furqan menjelang runtuhnya Tembok Berlin bertahun yang lalu. Sepatutnya setiap kita berharap, perubahan adalah tindakan menuju perbaikan. Tidak dengan mundurnya pemikiran. Tidak dengan mengakumulasi permusuhan. Tidak dengan penghancuran.
Maka siapa yang ingin melakukan perubahan tanpa itu semua, dengarkan saja John Lennon bernyanyi, Ya, kita semua ingin mengubah dunia,” katanya. “Tapi bila kau bicara tentang penghancuran, jangan sertakan aku.” Don’t you know that it’s going to be allright, allright, allright?
Obama! Mungkin juga penuh harapan. Obama! Mungkin juga membawa perubahan. Semoga…
Erwin Selian - sketsa 2011
0 komentar:
Posting Komentar