Pernah sekali waktu pada pertengahan Abad ke-19 apresiasi seni rupa merosot sedemikian tajam sehingga hanya menjadi peniruan dan pengulangan karena eksploitasi kegunaan seni dalam perdagangan dimanfaatkan secara besar-besaran. Seniman yang paling berhasil, hanyalah mereka yang melayani permintaan akan hias menghias serta memvisualisasikan keharuan tanpa jiwa. Salah seorang seniman yang paling terkenal dan mungkin yang paling kaya di Inggris kala itu ialah Sir Edwin Landseer. Ketika meninggal pada tahun 1873 ia mewariskan sebuah taman seharga 300.000 poundsterling. Landseer adalah orang yang memiliki bakat teknik tetapi tidak cenderung mengadakan pembaharuan. Ia hanya maju dengan melukis dari satu pesanan ke pesanan lain, dengan tema-tema yang tidak membawa makna mendalam.

Landseer tidak mempunyai khayalan tentang pekerjaan seninya. “Kalau saja orang memahami soal lukisan seperti saya” katanya pada suatu ketika,”mereka tidak akan membeli lukisan saya.” Tapi lukisan Landseer laku secepat pembuatannya. Di setiap negeri di Eropa ada seniman seperti dia. Kalau tidak melukis potret, rusa jantan atau anjing peliharaan, mereka melukis sosok-sosok wanita atau bidadari dengan gaya klasik dan malaikat dengan gaya renaisans. Kadang kala mereka menggabungkan sentuhan birahi dengan sedikit petuah perilaku susila dan pada kesempatan lain menceritakan kisah yang diambil dari sejarah lama, agama atau mitologi kuno.




Keberhasilan karya seperti itu mengungkapkan beberapa ukuran yang menunjukkan selera orang kebanyakan akan seni sekitar pertengahan abad ke-19. Pada umumnya orang mengharapkan untuk diberi sebuah cerita, agar terlena perhatiannya dan agar mendapat sedikit petuah susila. Seni yang mampu memuaskan permintaan ini harus menyandarkan diri pada peniruan karya-karya zaman yang sudah silam. Seni semacam itu tidak mempunyai urusan dengan kehidupan nyata yang disaksikan orang dan juga tidak mendalami masalah-masalah sosial. Seni seperti itu tidak menghendaki agar penikmatnya bertanya-tanya tentang hal yang tidak lazim, seni tidak menyampaikan pesan sebagaimana layaknya yang berlaku secara umum, melainkan hanya sekedar pengulangan masa lalu yang sedikit memberi rasa haru.

Sebagian tanggung jawab akan tidak bermaknanya banyak karya seni Abad Pertengahan terletak pada wasit penentu selera umum, yaitu para keritikus dan pemimpin lembaga semacam Akademi Seni Kerajaan di London atau Sekolah Seni Rupa di Paris sebagai kiblat seni dunia kala itu.  Mereka juga terpikat oleh masa lampau seperti halnya masyarakat dan mengikuti peraturan yang kaku tentang lukisan yang “benar” dan gagasan yang “pantas”. Mereka juga menguasai nasib para pelukis. Setiap tahun Balai Seni Rupa mengadakan pameran yang merupakan peristiwa nasional dan semacam upacara kenegaraan.

Bagi pelukis diterima sebagai peserta pameran penting sekali untuk kehidupan profesionalnya; bila sampai ditolak, maka lukisan akan dikembalikan dengan tanda R (kependekan kata Refuse’ yang artinya ditolak),  suatu noda tinta di kanvas yang tak dapat dihapus dan biasanya menyebabkan pelukis malang tadi tidak dapat menjual atau memamerkan lukisannya lagi. Oleh karena itu semua pelukis, bahkan mereka yang berpura-pura mencemooh, mendambakan restu Balai. Kalau mereka tidak mendapatkan restu itu biasanya kemiskinan dan ejekanlah yang akan mereka terima.  Jean Francois Millet, yang lukisan petaninya dicela karena dianggap menurunkan derajat manusia sampai setingkat badut, pada suatu ketika menjual enam lukisannya hanya untuk membeli sepasang sepatu saja; lukisan itu boleh jadi bernilai diatas 9.000 poundsterling pada saat sekarang ini. Claude Monet kerap kali tak dapat melukis karena tidak sanggup membeli cat dan Auguste Renoir, seorang seniman yang luar biasa periang wataknya, menulis pada temannya:”Kami makan tidak setiap hari”.



Sedikit yang dapat diharapkan dari suasana demikian. Tetapi kendati Balai Seni Rupa berkuasa, kendati keberhasilan dalam sektor perdagangan begitu mendesak, kendati banyak lukisan potret cengeng yang tak mendalam, belahan kedua Abad ke-19 sebenarnya juga merupakan masa pergolakan besar seni rupa dunia. Sebagaimana orang sezamannya di bidang ilmu dan industri, di dunia seni ada juga orang yang tergerak oleh semangat pembaharuan yang menjiwai Abad Kemajuan. Mereka bukan hanya ditakdirkan akan melonggarkan cengkeraman Akademi Seni, melainkan juga merombak teori tentang gagasan pokok lukisan, komposisi dan warna. Gustave Courbet, dengan gigihnya memperjuangkan gerakan Realisme dalam seni rupa. Claude Monet, memberi alternatif baru dalam seni rupa dengan gaya melukisnya yang Impresionis. Lalu setelah itu berbagai aliran yang menuju seni rupa modern, seperti Ekspresionisme, Fauvisme, Kubisme, Surealisme dan Futurisme berlahan tapi pasti mendobrak tatanan lama seni rupa.

Secara umum para seniman gaya baru tersebut merasa yakin, dunia seni akan lebih baik bila mengambil persimpangan yang berbeda. Tetapi dengan sadar atau tidak, mereka mengungkapkan adanya pertentangan di hampir semua bidang kehidupan, dibalik suasana yang tampak damai dalam masyarakat Eropa ketika berada di pintu gerbang Abad ke-20. Pada akhirnya sejarah mencatat, pertentangan ini akan meletus dengan akibat yang paling menakutkan sepanjang sejarah peradaban manusia.


PADA SUATU MASA – Seni Rupa di Persimpangan Jalan
Erwin Selian


0 komentar:

Posting Komentar

 
Top