Kekuasaan sepanjang rentang sejarah peradaban manusia sering muncul dengan rupa yang berbeda-beda. Ketika Nero membumihanguskan kota Roma, kekuasaan tampil dengan wajah terbengisnya. Tetapi bisa juga begitu manis, ketika Sang Nabi mengampuni musuh-musuhnya setelah melintasi gerbang kota Mekkah dengan susah payah. Bila rasa sepi berbentuk, ini adalah wujud dari kekuasaan yang paling merisaukan, karena pada tingkat tertentu kekuasaan hanyalah sejenis kesepian. Tapi tak banyak yang menyadari hal itu.

Goenawan Muhammad pernah bertutur, Hitler akan berusia 100 tahun, seandainya ia hidup terus. Tapi ia tak hidup terus. Ia menembakkan pistol ke dalam mulutnya sendiri, di hari Senin sore bulan April 1945 yang dingin. Ia mati ketika kota Berlin dihujani peluru dan pasukan Rusia sudah di ambang pintu. Ya, kekuasaan punya batas waktu dan sejarah sudah memutuskan seperti itu. Kekuasaan akan mengibaratkan wujudnya sendiri, bila tidak ditegaskan dengan jelas pada langkah pertama sang pemimpin ketika memasuki pintu kekuasaan. Tak perduli seberapa besar kebaikan tersimpan di hati sang pemimpin. Tapi tak banyak yang menyadari hal itu. Diantara yang sedikit itu adalah Armen Desky atau biasa disapa Bung Armen, entah pada saat berkuasa atau pada saat ditinggalkan kekuasaan.

Di titik tak terhapal pada peta dunia - Aceh Tenggara - sebuah kabupaten yang belum tervisualisasikan dengan terperinci bila kita memantau lewat google map, disanalah Bung Armen pernah berkuasa, tahun-tahun menjelang akhir pergolakan panjang sengketa berdarah Aceh.

Bung. Kenapa beliau disapa bung. Setahu saya kata itu sangatlah tidak familier untuk wilayah Aceh. Dari mana asal usul panggilan itu hingga melekat pada diri beliau, juga sangat sulit ditelusuri. Hanya saja panggilan itu dahulu selalu bisa memberi motivasi bagi para pejuang diawal-awal republik ini berdiri. Atau hal itu akan mencitrakan semangat nasionalis disaat ideologis dipertentangkan di Aceh, agar terlihat jelas dimana beliau berpijak. Atau beliau memang senang dipanggil demikian sehingga kita mengamini keinginan tersebut. Atau juga tidak ada maksud apa-apa. Entahlah.

Dahulu saya pernah bertanya apa pandangan beliau tentang pendapatan asli daerah, saat menjelang akan berkuasa. Saya akan mengembalikan pendapatan asli daerah ke titik nol. Ke titik nyatanya. So? Agar pembiayaan rencana pembangunan ke depan bisa disusun atas dasar sumber pendapatan yang paling mendekati realitas. Good!
 
Setelah beliau berkuasa, saya tidak pernah lagi bertanya tentang itu, juga tentang yang lain. Parlemen juga tidak banyak bertanya. Beliau juga punya bawahan, tapi seperti umumnya bawahan, terlalu gentar untuk mengetahui ke tidak efektifan kerja mereka sendiri, apalagi berpendapat yang berbeda. Tidak siapapun yang bertanya tentang banyak hal yang rumit-rumit. Orang-orang kepercayaan mengambil inisiatif sendiri, jadi penyaring suara - bisa didengar atau tidak bisa didengar - sang pemimpin, yang mungkin juga untuk kepentingan sendiri. Pintu untuk keluar masuk terbatas. Tidak ada pendapat yang berbeda. Tidak ada kritikan apalagi cacian.

Kekuasaan terus berjalan tanpa pernah menyentuh titik nol. Kendali tidak lagi berfungsi. Para pemegang kas mulai korupsi, kaum pedagang mulai kehilangan pembeli, kedermawanan yang sifatnya tidak pribadi tidak lagi pakai bukti. Tapi sejauh apa semua ini akan menjadi sangat berbahaya bila waktunya tiba, beliau sendiri mungkin tidak tahu.

Kita kemudian mengerti bahwa legitimasi kekuasaan yang bersandar pada moralitas yang tidak terungkapkan adalah sebuah legitimasi yang tidak sempurna. Perlu ketegasan untuk menjabarkan hal itu dalam perilaku. Bila tidak, sang pemimpin hanyalah setetes gula yang jatuh ketengah lautan, akan menjadi asin. Seiring waktu maka kekuasaan yang akan menentukan wujudnya bagi sang pemimpin, memberi karma yang tidak bisa ditolak, sebesar apapun kebaikan yang terkandung di hati sang pemimpin. Untuk itu seorang pemimpin perlu di beri tahu apa yang terjadi, di dengarkan hal yang berbeda, dikritik , dikoreksi dan berkata benar padanya, agar tak merasa sendiri.

Terlepas dari tindakan yang baik dan buruk, Armen Desky juga hanyalah seorang manusia biasa, pada akhirnya merasakan wujud yang paling merisaukan dari kekuasaan, merasa kesepian. Selebihnya hanyalah kebisuan…


Erwin Selian – Sebuah kenangan


0 komentar:

Posting Komentar

 
Top