Apa motivasi orang terjun ke politik? Disertasi Pramono Anung sangat tepat menjawab itu. Pada bulan Januari 2013 lalu, anggota DPR dari PDI Perjuangan itu berhasil mempertahankan disertasi Doktoral-nya berjudul: “Komunikasi Politik dan Interpretasi para Anggota DPR Kepada Konstituen Mereka.”

Dalam disertasinya Pramono berusaha menyingkap, antara lain, motivasi seseorang untuk menjadi anggota DPR. Ada dua motif utama yang diungkapkan Pramono, yakni motivasi utama dan turunan.

Menurut dia, motivasi utama orang ingin menjadi anggota DPR adalah kepentingan ekonomi. “Jadi DPR ini dianggap lembaga untuk mencari nafkah,” kata Pram. Pantas saja, ketika sudah terpilih, anggota DPR itu sibuk bermain proyek dan mencari celah untuk korupsi.

Sedangkan motivasi turunan orang terjun ke politik adalah kepentingan politik, ideologis, memperjuangkan sistem demokrasi, aktualisasi sikap-sikap politik, memperjuangkan kebijakan politik, dan memperjuangkan aspirasi kaum marginal.

Bayangkan, kepentingan politis-ideologis telah disubordinasikan oleh kepentingan mencari nafkah. Ini berarti pergeseran dari “politik sebagai panglima” menjadi “uang adalah panglima”. Orang tidak lagi berpolitik karena sebuah idealisme atau cita-cita politik. Bukan lagi karena itikad membela kepentingan rakyat. Sekarang, orang berpolitik karena nafsu pribadi: memperkaya diri.

Tak heran, demi merampok kesempatan menjadi legislator, setiap calon rela menghamburkan dana. Pramono mengungkapkan, pada pemilu 2009 lalu, setiap caleg paling sedikit mengeluarkan dua milyar rupiah. Sedangkan biaya rata-rata per-caleg mencapai enam milyar rupiah. Tetapi, ada juga caleg sampai menggelontorkan dana sebesar Rp 22 milyar. Prinsipnya: asal menang saja dulu. Nanti, kalau mereka terpilih, keuntungan yang didapatkan akan jauh lebih besar.

Sejatinya politik adalah seni membangun kekuasaan. Ia melewati proses, yang kadang jatuh-bangun, untuk mencapai kekuasaan. Di dalamnya ada pertarungan gagasan dan program. Di dalam politik ada keberpihakan, yang dirumuskan dalam konsepsi ideologis.

Di bawah kekuasaan uang, politisi menginginkan yang serba instan. Supaya populer, mereka belanja iklan banyak-banyak. Kalau perlu, mereka membeli media atau merangkul raja-raja media. Untuk mendapatkan suara rakyat, mereka mengandalkan politik uang. Supaya lebih hemat, maka yang dibeli tokoh-tokoh masyarakatnya atau mereka yang berpengaruh.

Politik juga makin berbiaya tinggi. Akibatnya, ketika kita bertemu ajang-ajang politik, maka kandidatnya itu-itu juga alias “lu lagi, lu lagi”. Yang lebih parah lagi, sistim politik kita makin oligarkis. Partai hanya dikontrol hanya oleh segelintir elit. Kebijakan politiknya pun tidak berasal dari bawah, kader dan anggota, melainkan diputuskan sendiri oleh si elit.

Inilah yang membuat rakyat kehilangan harapan pada partai. Dalam tiga pemilu terakhir, tingkat partisipasi rakyat kian menurun: 1999 (92 persen), 2004 (84 persen) dan 2009 (71 persen). Sementara survei Centre for Strategic and International Studies (CSIS) menyimpulkan, hampir 48 persen rakyat tak lagi mempercayai parpol. Lalu, survei LSI mempertegas lagi bahwa 80 persen masyarakat lebih mendukung calon independen.

Politik berpanglimakan uang ini sangat korup. Makanya kita tak heran ketika DPR didaulat sebagai lembaga terkorup. Lah, mereka memang para pencari nafkah. Ironisnya, cara pintas mencari nafkah itu adalah korupsi. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) pernah menyebutkan, sebanyak 69,7 persen anggota DPR terindikasi korupsi. Lalu, catatan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menemukan: sepanjang tahun 2004 hingga 2012, ada 431 orang anggota DPRD provinsi dan 998 orang anggota DPRD Kabupaten/Kota tersangkut berbagai status hukum. Sebagian besar adalah kasus korupsi.

Lebih parah lagi, para “pencari nafkah” itu bisa menjual pengaruh atau posisi politik mereka untuk praktik suap. Kasus yang menimpa Presiden PKS, Luthfie Hasan Ishaaq, membuktikan hal itu. KPK menduga, pihak penyuap mencoba menggunakan pengaruh Luthfie Hasan sebagai petinggi PKS untuk mempengaruhi kebijakan kuota impor daging. Maklum, pengambil kebijakan terkait impor daging, yaitu Menteri Pertanian, adalah petinggi PKS juga: Suswono.

Artinya, tak menutup kemungkinan praktek semacam itu berlaku juga dalam proses penyusunan undang-undang. Pantas saja semua produk undang-undang DPR sangat merugikan rakyat. Ini mirip dengan ungkapan Bung Karno: mereka (DPR) memakan nangkanya (suapnya), rakyat yang kena getahnya (kebijakan anti-rakyatnya).

DPR tidak lagi menjadi perwakilan rakyat. Mereka sekarang, seperti kesimpulan disertasi Pramono, adalah kumpulan pencari nafkah. Meskipun harus diakui, tidak semua anggota DPR begitu. Tetapi yang ideologis dan berpolitik untuk kepentingan bangsa itu hanya segelintir.


Sumber: Dari berbagai sumber


0 komentar:

Posting Komentar

 
Top