Praak..!! Don Vito Corleone, pemimpin klan mafia terbesar di Amerika Serikat di era 30 an yang centang prenang, menggebrak meja. Dengan matanya yang tajam di atas wajahnya yang memanjang bagai topeng, sang Godfather berteriak lantang pada bawahannya,” Beri makan orang-orang lapar itu, biar mereka datang padaku dan memujiku. Akulah pelindung mereka.”
Setiap pemimpin memang selalu punya gaya, walau pada akhirnya bisa terlihat terlalu berlebihan bila merasa menjadi terlalu besar bagi sekitarnya. Konon ada sebuah pepatah Cina lama yang mengatakan bahwa “pemimpin yang merasa besar adalah malapetaka bagi publik”. Jika sesuatu terasa pahit dari ungkapan seperti itu, mungkin karena hal itu berasal dari pengalaman muram sebuah sejarah yang tua. Manusia umumnya memang bisa mengenang kembali bagaimana cara pemimpin-pemimpin mereka mengangkat diri dan berkuasa. Betapa banyak kejadian di masa lampau ketika seorang yang kemarin dielu-elukan akan membawa perbaikan, esoknya mengecewakan semua harapan publik, atau bahkan jadi seorang yang sangat tidak diharapkan.
Seorang pemimpin yang baik, menurut Tao, adalah ibarat sebuah danau. Dia tak lasak seperti sungai di gunung, tapi dalam. Dia tak berada di pucuk yang tinggi, tapi menampung. Dia tahu bahwa sumbernya adalah air yang datang dari jauh di pedalaman. Karena itu pemimpin yang baik tak dinilai dari seberapa bermaknanya sebuah penghargaan, seberapa kerasnya tepuk tangan yang disampaikan atau seberapa banyak pujian yang diharapkan. Kepemimpinan yang baik terjadi ketika sebuah tindakan merupakan bagian dari hidup yang utuh yang mengaktualisasikan diri dengan penuh kerendahan. Good leadership consists of doing less and being more.
Nun di lembah Alas, bisa jadi sang Bupati Hasanuddin Brueh melupakan ini. Atau ia tak terlampau berharap bisa seperti telaga Tao. Tapi kita juga tak ingin ia jadi contoh dari apa yang dicatat majalah The Economist edisi Juli lalu: kehidupan politik di daerah-daerah tertentu di Negara Asean telah menegakkan pemimpin yang “ tak lagi mendengar rumput yang tumbuh”.
Manusia umumnya memang bisa mengingat kembali bagaimana seorang calon pemimpin berusaha keras untuk dapat dukungan. Mereka harus mendatangi para pemilih, mendengar apa yang mereka katakan, memuji apa yang mereka lakukan, menjabat tangan mereka yang terkadang kotor atau mencium pipi anak yang mereka gendong. Semua mungkin buat memperjuangkan sebuah ide, atau mungkin itu hanya buat kepentingan sang calon pemimpin. Tapi apapun tujuannya, akibat proses itu jelas: ada kontak antara si calon pemimpin dengan para calon pemilihnya.
Namun ketika seorang pemimpin berkuasa, ada kalanya kontak semacam itu seperti tidak diperlukan lagi. Pemimpin tak lagi turun ke bawah sebelum menjalankan suatu gagasan. Cukup pemimpin yang mempertimbangkan, cukup puji-pujian sebagai tanda persetujuan. Tak ada lagi tawar menawar di ruang publik. Pemimpin tak lagi menampung dan bukan danau yang dalam. Pemimpin bertindak ini bertindak itu, tapi tak tahu adakah sumbernya jauh dari pedalaman atau hanya air cipratan sepatu sang pemimpin. Bisa jadi sebab itulah ketidakpuasan kini menunjukkan diri.
Kemudian setelah sang Godfather menggebrak meja dan dengan suara lantang mengutarakan keinginannya. Maka para bawahan pun berseru serentak,” bravo, bravo.. bravo…” Lanjutkan, lanjutkan.. lanjutkan...
0 komentar:
Posting Komentar