Sebuah
artikel di majalah Time Yang bertajuk "Flickering Consciousness"
mengusik perhatian saya. Saya terusik mungkin karena artikel ini mengingatkan
saya pada mendiang ayah saya yang juga mengalami koma sebelum meninggal, dua
puluh tahun silam. Penulis artikel membahas tentang kemajuan teknologi di
bidang kedokteran yang kini telah dapat menjelaskan beberapa tingkat kesadaran
pasien yang koma. Bahkan bisa memperkirakan jawaban atas pertanyaan yang selalu
menghantui keluarga pasien, seperti kapan atau mungkinkah mereka yang koma
dapat kembali pulih. Bagi kita orang awam, koma adalah kondisi tak berdaya
antara hidup dan mati dan kebanyakan disertai dengan ketidaksadaran. Dengan
MRI, ternyata didapati ada beberapa tingkatan koma dan kemampuan pasien koma
yang cukup mencengangkan.
Tingkat yang terparah dinamakan "vegetative state". Kondisi ini sama sekali tidak responsif, tidak ada tanda kehidupan selain jantung yang masih berdetak. Komunikasi sama sekali tidak terjadi pada tahap ini. Intinya seperti sudah mati, walau jantung masih memompa darah ke seluruh tubuh. Kondisi koma yang lebih baik dan baru ditemukan oleh dokter-dokter peneliti di Universitas Cambridge adalah "minimally conscious". Kondisi ini dulu disamakan dengan vegetative state sehingga pasien tidak menerima treatment yang cocok untuk kondisi mereka.
Ketika pasien berada pada tahap minimally conscious, mereka ternyata dapat berespons terhadap perintah dalam gelombang theta. Artinya, ketika diperintahkan dokter untuk membayangkan berjalan menuju sebuah meja, pasien yang terkoneksi dengan scanner magnetik MRI akan tampak berespon untuk mengikuti perintah. Respon pasien ini tepatnya seperti dalam mimpi. Mimpi yang diterjemahkan oleh MRI sebagai respon riil pada perintah yang mereka terima.
Ini kemajuan luar biasa karena hal ini berarti pasien koma ternyata dapat mendengar dan responsif. Ada kehidupan nan jauh di situ, sebuah kehidupan minimal yang terkunci dalam tubuh yang terpaku kaku. Saya rasa papa saya dulu dalam kondisi minimally conscious kecuali tiga hari sebelum kepergiannya, dia dalam kelemahannya sempat sadar beberapa jam dan berbincang dengan mama. Bagi kami, kejadian itu adalah sebuah mujizat. Seperti papa diberikan kesempatan oleh Tuhan untuk mengucapkan selamat tinggal ke mama. Hanya mama. Karena kami semua masih bersekolah saat papa sadar. Kondisi koma terbaik adalah "locked in". Bak terpenjara dalam tubuh yang membatu, pasien locked in memiliki kesadaran tinggi, responsif dan komunikatif. Respon bukan di gelombang mimpi tapi respon dalam gelombang kehidupan biasa. Pasien locked in yang paling terkenal adalah seorang jurnalis bernama Jean Dominique Bauby. Dengan mendiktekan pemikirannya kepada juru ketik dengan morse code melalui kedipan mata, Bauby berhasil menulis buku berjudul The Diving Bell and the Butterfly. Luar biasa bukan?
Kemudian terjadilah Aha-Moment dalam diri saya. Di masyarakat ternyata juga terdapat beberapa tingkat kesadaran dan kita banyak menemui orang-orang dalam kondisi koma. Koma hatinya. Mereka yang hatinya dalam kondisi vegetative state itu sama seperti hati yang hampa nurani. Mereka seperti orang mati, yang tidak ada tanda-tanda kehidupan untuk peduli pada sesama. Pastinya mereka non responsif dan bentuk komunikasi apapun (mengenai kemiskinan atau anak terlantar atau isu lain) tidak akan menggugahnya.
Yang minimally conscious biasanya masih berespon terhadap kebutuhan sosial di sekitarnya. Namun responnya ada di gelombang theta, hanya dalam mimpi. Ini artinya merekapun tidak mampu berbuat apa-apa. Hati mereka cukup sadar dan bisa berespon terhadap panggilan jiwa untuk menolong sesama, namun aksinya hanya ada dalam dunia mimpi. Menunda-nunda untuk berbuat sesuatu untuk sesama juga termasuk aksi dalam mimpi.
Kondisi yang paling umum terjadi menurut pandangan saya adalah hati yang dalam kondisi locked in. Kesadaran ada, minat untuk menolong sesama pun ada, namun karena kesibukan di dunia kerja dan rumah tangga membuat mereka "terpenjara" dari kegiatan memberi atau berbuat untuk sesama. Meminjam kata-kata sahabat saya, Anies Baswedan, ini adalah kondisi "waras nurani" dengan aksi terbatas karena terpenjara kesibukan sehari-hari.
Ada yang hatinya mati suri, sama sekali tidak berespon. Itu sama dengan vegetative state. Ada yang minimally conscious, yang menunda-nunda untuk berbuat untuk sesama dan terus saja beraksi sosial dalam mimpi. Dan yang waras nurani namun belum maksimal menjadi agen perubahan di lingkungannya masih masuk dalam kategori terbaik.
Buat yang waras nurani, banyak hal yang dapat kita lakukan seperti mengintegrasikan hobby dengan berbuat kebajikan. Sahabat saya Sandi Uno bukan saja waras nurani, dia adalah sosok nyaris sempurna yang sadar murni akan kapasitasnya untuk menolong sesama sambil menjalankan hobinya. Dibanding Sandi, mungkin kesibukan kita tidak ada apa-apanya. Seperti semua orang sibuk lainnya, sesibuk apapun kita yang memiliki hobi tertentu dan pasti akan meluangkan waktu untuk mengejar kegiatan pengurang stress ini. Sandipun demikian. Dia selalu meluangkan waktu untuk hobi larinya dan telah mengispirasi banyak orang lewat Berlari untuk Berbagi (BuB). Lewat BuB, Sandi bersama kawan-kawan profesional muda yang doyan lari, mengajak pengusaha dan korporasi Indonesia untuk mengumpulkan dana dalam ajang lari maraton yang mereka lakoni. Setiap kilometer dijual dengan suatu nilai Rupiah tertentu, yang kemudian digandakan oleh Sandi. Artinya, mekanisme penggandaan ini membawa dampak yang lebih besar bagi program-program yang dijalankan oleh yayasan-yayasan sosial yang dipilih pendonor.
Mungkin anda memiliki hobi lain. Apapun hobi anda, saya mengajak kita semua untuk mulai berpikir untuk berbuat sesuatu melalui hobi kita, apapun bentuknya. Intinya jangan kita menjadi seperti pasien koma yang minimally conscious yang hanya bermimpi berbuat untuk sesama. Separah apapun kita locked in dalam kehidupan kita, kita masih bisa produktif seperti Jean Dominique Babuy. Lakukan sesuatu sesuai kemampuan. Lakukan sesuatu sesuai hobi kita. Berbagi melalui hobi itu indah, mudah dan penuh berkat berlimpah. (VC/11/2011)
Concerned by the increasing numbers of drug abuse
and trafficking cases amongst Indonesian youth, she established YCAB Foundation
in August 1999 with a primary drug prevention focus. Refining its focus, YCAB
found a niche in the promotion of a comprehensive youth development programme
for independence through social innovation. By addressing the underlying causes
of drug abuse, including HIV/AIDS, YCAB aims to empower youth to choose healthy
lifestyles and to provide venture capital and education that prepares them for
decent employment and/or entrepreneurship. The unique part of her keeping her
non-profit afloat is its three subsidiaries which are for-profit entities
established to support and generate income for her foundation, YCAB.
One of the business is YADA Toys. It is a robotic animal rides company, with manufacturing in Indonesia and operations in various countries in Asia and Europe, making more than two million children happy annually.
Veronica published her first book "Raising Drug Free Children" in 2007 and just released her second, "10 Myths and 1 Truth about Drugs" in March 2010. She writes articles and is a regular contributor to Media Indonesia Daily and one of Indonesia’s most popular websites (www.kickandy.com). She serves as the Expert Advisor to the Indonesian National Narcotics Board and represented Indonesia in various High Level Segment of Commission on Narcotics Drugs (CND) meetings at UNODC HQ in Vienna. Veronica received the National Gold Award from the Indonesian President in 2003. In late 2007 - among the very few in Asia - her foundation received the honorary Special Consultative Status from the UN Economic and Social Council. She's the Fellow of Asia Society 21 Young Leaders (2007) and was awarded Global Social Innovator in 2008, alongside other world-class philanthropists such as actor Jet Li and Rob Walton of Walmart. Appointed as Fellow of Young Global Leader (YGL, 2006) by the World Economic Forum, she was privileged to attend a special leadership program designed by the World Economic Forum and Harvard Kennedy School (HKS).
Veronica studied mass communications for her undergraduate and was awarded a Master of Science in Drug Policy and Intervention from the Imperial College, London and from the London School of Hygiene and Tropical Medicines (2005). Her interest in other disciplines has taken her to devote her summers to informally study Christian Apologetics in OCCA at Oxford University.
She has also graduated from various executive programs such as INSEAD's int'l social entrepreneurship program (ISEP) and HKS's Global Leadership and Public Policy (HKSEE) in 2009.
At 29, she was the youngest recipient of the United Nations' Civil Society Award (2001). She lives in Jakarta with her husband and their three teens.
0 komentar:
Posting Komentar