"Ibuuuu, lihaaat! Gambar bunga saya kabur kenapa Bu?" rajuk Kisra, anak kelas 5 yang saat itu kebagian giliran memotret objek yang ia suka.

"Lihat Kisra, kalau memotret tangannya tidak boleh goyang-goyang biar gambarnya bagus," ujar saya sambil mencontohkan cara memegang kamera padanya. Ia manggut-manggut tanda paham.

Hampir empat bulan lamanya ekskul fotografi berjalan di SDN 2 Kebun teluk dalam. Meski pelaksanaannya masih musiman, antusiasme anak-anak begitu nampak dalam raut wajah mereka. Kebetulan peserta ekskulnya adalah siswa-siswi kelas 5 dan 6. Dua kamera digital sumbangan dari seorang temanlah yang setia menemani kami mengabadikan setiap momen yang dianggap menarik. Saya pernah menulis secara khusus tentang ekskul fotografi ini di sini.

Harapan saya tak pernah muluk. Mereka belum perlu tahu apa itu diafragma, shutter speed, atau jenis-jenis kamera. Saya hanya ingin mereka mampu membekukan sebuah momen dan tahu mengapa mereka menganggap momen tersebut harus diabadikan. Jawaban yang muncul pun bermacam-macam.

Karena lucu Bu.
Warnanya bagus sekali!
Habis saya bingung mau ambil gambar apa..
Karena gambar-gambar ini ngga mungkin bisa Bu Kinkin ambil.

Jawaban terakhir dari Mila membuat saya ternganga.Tepat sekali! Saya tak akan bisa mengabadikan peristiwa seperti yang mereka lakukan. Itulah mengapa saya tekankan bahwa setiap foto adalah istimewa: momennya tak akan bisa terulang. Ada yang memotret wajah adiknya, temannya yang naik pohon jambu, pose-pose narsis anak-anak (padahal kalau sama saya malu-malunya bukan main saat diajak foto!), sampai berbagai pemandangan di sekitar Serambah. Semua itu tampak sangat menarik.



Saya biasa menyerahkan kamera dalam dua kelompok besar: laki-laki dan perempuan. Maklum saja, mereka sulit sekali disuruh bertukar anggota kelompok agar bercampur. Terkadang saya membuat sistem giliran pegang kamera: 1 anak 1 hari. Setiap hari ada dua anak yang mendapat kesempatan memotret apapun yang mereka suka. Hebatnya, mereka tahu bagaimana memperlakukan kamera itu. Disimpan di dalam tas saat tidak digunakan, tidak boleh kehujanan, dan jangan sampai terbanting. Jika kamera itu sampai rusak, namanya juga dipakai. Toh saya tahu bahwa mereka tidak akan merusaknya secara sengaja. Kini saya juga bisa mempercayakan dokumentasi pada anak-anak tersebut setiap kami pergi berjalan-jalan. Tim andalan saya adalah Kisra, Haera, Rasi, dan Herman. Belum rutin, sih. Memang, ada beberapa anak yang masih nampak segan memegang benda yang menurut mereka mahal tersebut. Tapi pastilah lama-lama akan terbiasa.
 
Ada satu hal lagi yang membuat saya selalu tersenyum. Kini mereka menambahkan satu lagi hobi di lembar biodatanya: foto-foto. Duh, senangnya! Bahkan ada anak yang rela mendaki Gunung Bitangor di belakang sekolah demi mendapatkan foto dusun Serambah dari atas!

Mungkin di lain waktu, saya akan memperkenalkan profil beberapa fotografer terkenal pada mereka. Siapa yang tahu, dua puluh tahun nanti, salah satu dari anak-anak ini akan membuat jejak pencapaian yang sama. Siapa tahu.
 
"Ibu Guru! Mun Ibu tak e dinna poleh, kamerana e kiba sapa Bu? Eshon pakkun oleh poto-poto Bu?" (Ibu, kalau ibu tak di sini lagi, kameranya di bawa siapa? Saya masih bisa foto-foto Bu?)
 
"Kamera ini akan terus bersama kalian, asal kalian mau merawatnya." jawab saya pelan.

Seketika nampak secercah senyum dari wajah-wajah mungil itu. Ayo, abadikan terus momenmu Nak! (Journal Kinchan)


The Moment(s) They've Captured

Penulis : Maharsi
Saya adalah seorang pemimpi yang tidak pernah melepaskan khayalan jauh-jauh dari bagaimana saya mampu menghabiskan masa depan dengan kegiatan yang disukai. Saat ini, saya telah resmi menjadi sarjana baru (baca: pengangguran) bidang akuntansi di salah satu universitas negeri di Jogjakarta. Sebuah titel yang berkebalikan 180 derajat dari passion saya di dunia kreatif. Saat ini saya sedang menimba ilmu dengan menjadi Pengajar Muda VI Gerakan Indonesia Mengajar di Pulau Bawean, Gresik.

Saya punya keyakinan bahwa saya akan menemui jodoh di stasiun kereta api atau di gunung. Dua tempat yang saya tahbiskan sebagai tempat paling romantis di dunia. Saat senggang, saya senang berkegiatan di alam bebas atau sekedar berjalan-jalan di kota dan menikmati senja.

Saya belum pantas disebut traveler karena sedikitnya destinasi wisata yang telah saya kunjungi. Saya belum pantas disebut fotografer karena terbatasnya hasil jepretan yang saya miliki. Saya belum pantas disebut penulis karena buruknya tulisan yang saya hasilkan selama ini. Saya hanya senang mengamati dunia baru yang jauh berbeda dengan apa yang saya hadapi sehari-hari, di luar zona nyaman, di mana saya tetap bisa menjadi diri sendiri tanpa memalsukan ego.

Suatu saat ingin punya yacht kecil untuk berlayar di lautan Indonesia. Suatu saat ingin punya sekolah gratis yang dibangun di sebuah desa dan mengajar di sana. Suatu saat pula ingin punya rumah dengan halaman yang luas dengan pemandangan Gunung Api di Banda Neira.

Bukankah setiap manusia adalah pejalan? Maka, tidak ada yang perlu diistimewakan. Semua yang saya muat di blog ini hanyalah sekedar sekelumit ilmu dan pengalaman yang saya dapatkan di jalanan, yang semoga juga bermanfaat bagi kalian teman-teman pembaca.

Jadi, mengapa tidak mulai berjalan?

" Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan-slogan. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal obyeknya. Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat." - Soe Hok Gie, Catatan Seorang Demonstran
 
Blog Journal Kinchan terpilih sebagai blogger wanita terbaik dalam Bloscar Travel 2013


0 komentar:

Posting Komentar

 
Top